Jumat, 11 Januari 2013

Penghargaan untuk Mama

Untuk mamaku, Ny. J  Purba Br. Panjaitan

 Samuel mendengarkan dengan serius dan mengangguk-angguk. Saat itu dekan sebuah akademi bisnis terkenal dengan penuh semangat bercerita tentang Hanna Schuller yang akan menerima penghargaan atas kualitas kerjanya. Bagi setiap orang yang menghadiri acara penghargaan itu, Hanna adalah seorang professional yang sempurna. Ia selalu berpakaian kantor dan menata rambutnya yang hitam ke belakang. Segala sesuatu mengenai Hanna menggambarkan kesopanan, pengendalian diri, dan prestasi,
       Itulah sebabnya Samuel menyeringai. Ia mengetahui sisi lain Hanna yang berbeda. Ketika ia mengawasi perempuan yang duduk di atas panggung dengan kaku, tegak dan anggun, pikirannya melayang ke suatu hari yang penting dua belas tahun lalu. Hanna telah membuat dirinya terkenal dengan cara yang berbeda.
       Saat itu, Samuel duduk di kelas enam di. Ia seorang anak laki-laki yang pandai, disukai dan ambisius, serta dengan sepenuh hati ingin bermain basket untuk sekolahnya, Sang Timur. Akan tetapi, Samuel termasuk salah satu anak laki-laki yang bertubuh paling pendek di kelasnya. Tubuhnya juga tidak kekar seperti yang dicari pelatih dari seorang pemain. Sekalipun demikian, mamanya, Hanna, yakin bahwa energinya tinggi. Oleh karena itu, sang mama mendorong Samuel untuk mencoba masuk tim. Sungguh mengherankan, ia berhasil! Pelatih melihat semangat yang sama di dalam dirinya dan menyukai dukungan semangatnya terhadao tim.
       Ketika pertandingan tiba, sang pelatih tidak mengikutsertakan Samuel dalam pertandingan. Ia takut Samuel tidak mampu bertahan saat melawan musuh yang badannya jauh lebih besar. Ia juga mengkhawatirkan Samuel akan terluka.
       Ketidakikutsertaan Samuel salam setiap pertandingan tidak mengurangi semangat Hanna. Setiap pertandingan, baik hujan maupun panas terik, ia duduk di atas bangku – kaku, tegak dan anggun. Sementara orang tua lain datang mengenakan pakaian biasa, Hanna langsung datang dari kantor. Ia mengenakan pakaian kantor, sepatu hak tinggi, dan tata rambut yang khas.
       Sebagian pemain mungkin akan merasa malu memiliki seorang mama yang penampilannya berbeda dengan mama-mama yan lain. Namun, Samuel justru sebaliknya. Ia sangat senang karena dapat dengan mudah mengenalinya di antara kerumunan. Setiap kali keluar bersama timnya dari ruang ganti pakaian, mamanya akan melambaikan tangan dengan penuh semangat dan menyilangkan jarinya yang menunjukkan harapan bahwa kali ini ia akan ikut bermain.
       Tim mereka bermain dengan baik. Pertandingan final akan menentukan apakah mereka berhak mengikuti pertandingan antardaerah atau tidak. Samuel masih saja belum bermain. Babak pertama sudah selesai. Dalam setiap nilai yang diperoleh, Sang Timur secara bergantian memperoleh kemenangan dan kekalahan. Setelah mengalami kekalahan, tim itu kembali memimpin angka. Para penonton yang membanjiri stadion pun meneriakkan dukungan mereka. Semua orang merasa bersemangat, keculai Hanna, yang tetap duduk tenang.
       Separuh waktu berjalan, dan kedua tim memperoleh angka sama. Sewaktu tim Sang Timur meninggalkan lapangan menuju ruang ganti pakaian untuk menyusun strategi baru berikutnya, Samuel melewati tempat duduk Hanna. Hanna menepuknya dengan lembut, dan Samuel memamerkan senyumnya. Namun, dari matanya ia dapat melihat bahwa Samuel bisa menerima kemungkinan tidak akan pernah bermain. Ini adalah kesempatan terakhir, dan terlalu berbahaya bila pelatih menempatkan seseorang yang belum berpengalaman.
       Sang pelatih berjalan mengikuti pemain cadangan, dan Hanna berusaha menarik perhatiannya. Merasa tidak enak karena tidak membiarkan Samuel bermain, ia mendekati Hanna dan menjelaskan segala sesuatu kepadanya.
       “Andatahu, Bu Schuller, saya ssngat mengagumi anak Anda. Ia memberi dukungan kepada seluruh tim dan semangatnya benar-benar sangat membantu kami. Saya berharap bisa membiarkannya bermain. Namun, ia begitu kecil sehingga saya khawatir ia akan terluka di sana.”
       Hanna tersenyum dengan lembut dan berkata, “Saya mengerti keinginan Anda melindungi Samuel, Pak pelatih – saya juga. Saya bisa memahami alas an Anda tidak membiarkannya bermain, khususnya dalam pertandingan yang ketat seperti ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya percaya stamina seorang anak laki-laki sama dengan kekuatan semangatnya. Jangan khawatir Pak. Saya tidak takut.”
       Kata-katanya yang tenang dan mengandung kekuatan terus terngiang di kepala pelatih saat ia melanjutkan langkahnya menu ruang ganti.
       Babak kedua pertandingan lebih panas daripada babak pertama -  sebuah pertandingan yang membuat penonton tegang setiap menitnya. Setelah seperempat babak berjalan lambat, angka kembali sama.
       Tidak adatim yang mampu mencetak angka di daerah kekuasaan mereka. Ketika waktu tinggal tiga menit, sang pelatih memutskan mengakmbil istirahat sejenak untuk menyusun strategi. Ia membutuhkan sesuatu yanglain, yangtidak diduga tim lawan – sebuah senjata rahasia – seseorang yang mampu bergerak cepat, tetapi cukup kecil untuk menarik perhatian lawan. Ia memandangi bangku pemain cadangan dan meneliti untuk mencari pemain yangtepat. Di sana duduk Samuel, yan dengan setia memberikan semangat kepadatimnya. Saat itu memang resiko yang besar untuk memasukkan Samuel. Ia memang selalu muncul dalam setiap latihan dan berlatih keras, tetapi ia belum pernah berada dalam permainan yang sesunguhnya. Jangan khawatir .. Kata-kata Hanna kembali terngiangdi telinga pelatih.
       Waktu tinggal dua menit. “Samuel!” pelatih berteriak. “Kamu masuk menggantikan posisi Dani.”
       Samuel terkejut hingga sesaat ia hanya berdiri dan mematung. Teman satu timnya menyikutnya, dan ia mengencangkan tali sepatunya dan berlari memasuki lapangan.
       Ketika Hanna melihat anaknya bergabung di lapangan, kecemasannya hilang. Sewaktu Samuel berdiri dan menyilangkan jarinya, Hanna berdiri dan membalas menyilangkan jarinya.
       Samuel pun bermain. Waktu tinggal satu menit dua puluh detik. Samuel merunduk, tepat di depan Hanna, ia menerobos dua pemain bertubuh besar yang menghadangnya dan menyerang dengan tiba-tiba untuk merebut bola. Sam terdiam untk beberapa saat. Para pemain berusaha untuk mendapatkan bola kembali saat sekejap mata tampak terlintas dalam gerakan lambat. Hanna meloompoat dan berlari moenuruni bangku penonton menuju tepi lapangan, melambaikan tangannya dan berteriak, “Ayo Sam! Sam kamu bisa, Nak!”
       Samuel sadra kembali dan merebut bola. Sam terus asyik men-dribble bola menuju rdaerah lawan. Sam mencuru pandang sekilas ke tepi lapangan dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di sana tampak mamanya berlari sepanjang tepi lapangan berlomba dengannya.
       Rambutnya terurai dari jepit yang mengikatnya. Samuel dapat mendengar dengan jelas teriakan mamanya di tengah keramaian. “Lari Sam! Ayo semangat!” Ia melemparkan blazernya ke tanah, dan ujung blusnya terlepas dari ikat pinggangnya, berantakan ditiup angin ketika ia berlari secepat mungkin. Napasnya terengah-engah. Pemandangan itu terlihat kurang pantas. Tanpa malu-malu, ia meneriakkan kata-kata dukungan.
       Hanna telah meninggalkan sepatunya di bangku, stockingnya soobek, namun ia tidak memperhatikannya. “Samuel, AYO. Kamu bisa Sam!” Ia berteriak sekeras mungkin.
       Akhirnya, dengan satu gerakan maju yag sangat cepat, Samuel berhasil memasukkan bola ke ring di daerah three point. Ketika wasit mengangkat tangannya untuk memberi nilai, Hanna berlari menuju lapangan, melompat, dan berteriak merayakan keberhasilan anaknya. Ia berlari menuju para pemain dan memeluk Samuel. Airmata kebanggaan mengalir di pipinya. Mereka berpelukan hingga tidak menyadari tatapan mata para pemain lain dan penonton.
       Mereka saling berpandangan dan menyadari bahwa mereka pasti tampak konyol. Namun, mereka terlalu gembira untuk peduli. Mereka hanya mangangkat bahu dan bergabung dalam kemenangan tim Saat semua anggota tim mengangkat Samuel di pundak mereka, sang pelatih menjabat tangan Hanna. “Baiklah,” ia berkata dengan menyeringai, “saya senang anda tidak khawatir. Sekarang saya juga tidak khawatir.” Ia berbalik ke arah Samuel. “Tampaknya kamu akan menjadi pemain inti tahun depan!”
       “Hanna Schuller!” sebuah suara yang berasal dari pengeras suara menyadarkan Samuel dari kenangan masa lalu.
       Gambaran seorang Hanna yang pernah tampil tidak cantik dan kusut tetap terukir dalam ingatannya. Sekarang, saat Hanna yang anggun dan cantik berdiri untuk menerima penghargaan, Samuel berjalan menuju panggung. Ia meletakkan tangan mamanya di lengannya dan menyilangkan jarinya dengan tangan lain. “Jika mama tidak keberatan, aku akan terus di posisiku. Aku lebih suka berjalan di sisi perempuan yang telah berlari di sampingku sepanjang hidupku.” Mata Hanna dipenuhi airmata kasih sewaktu Samuel berbisik, “Ayo, Ma! Mama pasti bisa!.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar