Untuk mamaku, Ny. J Purba Br. Panjaitan
Samuel mendengarkan dengan serius dan mengangguk-angguk. Saat
itu dekan sebuah akademi bisnis terkenal dengan penuh semangat bercerita
tentang Hanna Schuller yang akan menerima penghargaan atas kualitas
kerjanya. Bagi setiap orang yang menghadiri acara penghargaan itu, Hanna
adalah seorang professional yang sempurna. Ia selalu berpakaian kantor
dan menata rambutnya yang hitam ke belakang. Segala sesuatu mengenai
Hanna menggambarkan kesopanan, pengendalian diri, dan prestasi,
Itulah sebabnya Samuel menyeringai. Ia mengetahui sisi lain Hanna yang
berbeda. Ketika ia mengawasi perempuan yang duduk di atas panggung
dengan kaku, tegak dan anggun, pikirannya melayang ke suatu hari yang
penting dua belas tahun lalu. Hanna telah membuat dirinya terkenal
dengan cara yang berbeda.
Saat itu, Samuel duduk di kelas
enam di. Ia seorang anak laki-laki yang pandai, disukai dan ambisius,
serta dengan sepenuh hati ingin bermain basket untuk sekolahnya, Sang
Timur. Akan tetapi, Samuel termasuk salah satu anak laki-laki yang
bertubuh paling pendek di kelasnya. Tubuhnya juga tidak kekar seperti
yang dicari pelatih dari seorang pemain. Sekalipun demikian, mamanya,
Hanna, yakin bahwa energinya tinggi. Oleh karena itu, sang mama
mendorong Samuel untuk mencoba masuk tim. Sungguh mengherankan, ia
berhasil! Pelatih melihat semangat yang sama di dalam dirinya dan
menyukai dukungan semangatnya terhadao tim.
Ketika
pertandingan tiba, sang pelatih tidak mengikutsertakan Samuel dalam
pertandingan. Ia takut Samuel tidak mampu bertahan saat melawan musuh
yang badannya jauh lebih besar. Ia juga mengkhawatirkan Samuel akan
terluka.
Ketidakikutsertaan Samuel salam setiap
pertandingan tidak mengurangi semangat Hanna. Setiap pertandingan, baik
hujan maupun panas terik, ia duduk di atas bangku – kaku, tegak dan
anggun. Sementara orang tua lain datang mengenakan pakaian biasa, Hanna
langsung datang dari kantor. Ia mengenakan pakaian kantor, sepatu hak
tinggi, dan tata rambut yang khas.
Sebagian pemain mungkin
akan merasa malu memiliki seorang mama yang penampilannya berbeda dengan
mama-mama yan lain. Namun, Samuel justru sebaliknya. Ia sangat senang
karena dapat dengan mudah mengenalinya di antara kerumunan. Setiap kali
keluar bersama timnya dari ruang ganti pakaian, mamanya akan melambaikan
tangan dengan penuh semangat dan menyilangkan jarinya yang menunjukkan
harapan bahwa kali ini ia akan ikut bermain.
Tim mereka
bermain dengan baik. Pertandingan final akan menentukan apakah mereka
berhak mengikuti pertandingan antardaerah atau tidak. Samuel masih saja
belum bermain. Babak pertama sudah selesai. Dalam setiap nilai yang
diperoleh, Sang Timur secara bergantian memperoleh kemenangan dan
kekalahan. Setelah mengalami kekalahan, tim itu kembali memimpin angka.
Para penonton yang membanjiri stadion pun meneriakkan dukungan mereka.
Semua orang merasa bersemangat, keculai Hanna, yang tetap duduk tenang.
Separuh waktu berjalan, dan kedua tim memperoleh angka sama. Sewaktu
tim Sang Timur meninggalkan lapangan menuju ruang ganti pakaian untuk
menyusun strategi baru berikutnya, Samuel melewati tempat duduk Hanna.
Hanna menepuknya dengan lembut, dan Samuel memamerkan senyumnya. Namun,
dari matanya ia dapat melihat bahwa Samuel bisa menerima kemungkinan
tidak akan pernah bermain. Ini adalah kesempatan terakhir, dan terlalu
berbahaya bila pelatih menempatkan seseorang yang belum berpengalaman.
Sang pelatih berjalan mengikuti pemain cadangan, dan Hanna berusaha
menarik perhatiannya. Merasa tidak enak karena tidak membiarkan Samuel
bermain, ia mendekati Hanna dan menjelaskan segala sesuatu kepadanya.
“Andatahu, Bu Schuller, saya ssngat mengagumi anak Anda. Ia memberi
dukungan kepada seluruh tim dan semangatnya benar-benar sangat membantu
kami. Saya berharap bisa membiarkannya bermain. Namun, ia begitu kecil
sehingga saya khawatir ia akan terluka di sana.”
Hanna
tersenyum dengan lembut dan berkata, “Saya mengerti keinginan Anda
melindungi Samuel, Pak pelatih – saya juga. Saya bisa memahami alas an
Anda tidak membiarkannya bermain, khususnya dalam pertandingan yang
ketat seperti ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya percaya
stamina seorang anak laki-laki sama dengan kekuatan semangatnya. Jangan
khawatir Pak. Saya tidak takut.”
Kata-katanya yang tenang
dan mengandung kekuatan terus terngiang di kepala pelatih saat ia
melanjutkan langkahnya menu ruang ganti.
Babak kedua
pertandingan lebih panas daripada babak pertama - sebuah pertandingan
yang membuat penonton tegang setiap menitnya. Setelah seperempat babak
berjalan lambat, angka kembali sama.
Tidak adatim yang
mampu mencetak angka di daerah kekuasaan mereka. Ketika waktu tinggal
tiga menit, sang pelatih memutskan mengakmbil istirahat sejenak untuk
menyusun strategi. Ia membutuhkan sesuatu yanglain, yangtidak diduga tim
lawan – sebuah senjata rahasia – seseorang yang mampu bergerak cepat,
tetapi cukup kecil untuk menarik perhatian lawan. Ia memandangi bangku
pemain cadangan dan meneliti untuk mencari pemain yangtepat. Di sana
duduk Samuel, yan dengan setia memberikan semangat kepadatimnya. Saat
itu memang resiko yang besar untuk memasukkan Samuel. Ia memang selalu
muncul dalam setiap latihan dan berlatih keras, tetapi ia belum pernah
berada dalam permainan yang sesunguhnya. Jangan khawatir .. Kata-kata Hanna kembali terngiangdi telinga pelatih.
Waktu tinggal dua menit. “Samuel!” pelatih berteriak. “Kamu masuk menggantikan posisi Dani.”
Samuel terkejut hingga sesaat ia hanya berdiri dan mematung. Teman satu
timnya menyikutnya, dan ia mengencangkan tali sepatunya dan berlari
memasuki lapangan.
Ketika Hanna melihat anaknya bergabung
di lapangan, kecemasannya hilang. Sewaktu Samuel berdiri dan
menyilangkan jarinya, Hanna berdiri dan membalas menyilangkan jarinya.
Samuel pun bermain. Waktu tinggal satu menit dua puluh detik. Samuel
merunduk, tepat di depan Hanna, ia menerobos dua pemain bertubuh besar
yang menghadangnya dan menyerang dengan tiba-tiba untuk merebut bola.
Sam terdiam untk beberapa saat. Para pemain berusaha untuk mendapatkan
bola kembali saat sekejap mata tampak terlintas dalam gerakan lambat.
Hanna meloompoat dan berlari moenuruni bangku penonton menuju tepi
lapangan, melambaikan tangannya dan berteriak, “Ayo Sam! Sam kamu bisa,
Nak!”
Samuel sadra kembali dan merebut bola. Sam terus asyik men-dribble
bola menuju rdaerah lawan. Sam mencuru pandang sekilas ke tepi lapangan
dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di sana tampak mamanya
berlari sepanjang tepi lapangan berlomba dengannya.
Rambutnya terurai dari jepit yang mengikatnya. Samuel dapat mendengar
dengan jelas teriakan mamanya di tengah keramaian. “Lari Sam! Ayo
semangat!” Ia melemparkan blazernya ke tanah, dan ujung blusnya terlepas
dari ikat pinggangnya, berantakan ditiup angin ketika ia berlari
secepat mungkin. Napasnya terengah-engah. Pemandangan itu terlihat
kurang pantas. Tanpa malu-malu, ia meneriakkan kata-kata dukungan.
Hanna telah meninggalkan sepatunya di bangku, stockingnya soobek, namun ia tidak memperhatikannya. “Samuel, AYO. Kamu bisa Sam!” Ia berteriak sekeras mungkin.
Akhirnya, dengan satu gerakan maju yag sangat cepat, Samuel berhasil memasukkan bola ke ring di daerah three point. Ketika
wasit mengangkat tangannya untuk memberi nilai, Hanna berlari menuju
lapangan, melompat, dan berteriak merayakan keberhasilan anaknya. Ia
berlari menuju para pemain dan memeluk Samuel. Airmata kebanggaan
mengalir di pipinya. Mereka berpelukan hingga tidak menyadari tatapan
mata para pemain lain dan penonton.
Mereka saling
berpandangan dan menyadari bahwa mereka pasti tampak konyol. Namun,
mereka terlalu gembira untuk peduli. Mereka hanya mangangkat bahu dan
bergabung dalam kemenangan tim Saat semua anggota tim mengangkat Samuel
di pundak mereka, sang pelatih menjabat tangan Hanna. “Baiklah,” ia
berkata dengan menyeringai, “saya senang anda tidak khawatir. Sekarang
saya juga tidak khawatir.” Ia berbalik ke arah Samuel. “Tampaknya kamu
akan menjadi pemain inti tahun depan!”
“Hanna Schuller!” sebuah suara yang berasal dari pengeras suara menyadarkan Samuel dari kenangan masa lalu.
Gambaran seorang Hanna yang pernah tampil tidak cantik dan kusut tetap
terukir dalam ingatannya. Sekarang, saat Hanna yang anggun dan cantik
berdiri untuk menerima penghargaan, Samuel berjalan menuju panggung. Ia
meletakkan tangan mamanya di lengannya dan menyilangkan jarinya dengan
tangan lain. “Jika mama tidak keberatan, aku akan terus di posisiku. Aku
lebih suka berjalan di sisi perempuan yang telah berlari di sampingku
sepanjang hidupku.” Mata Hanna dipenuhi airmata kasih sewaktu Samuel
berbisik, “Ayo, Ma! Mama pasti bisa!.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar